'


Mungkin anda pernah mendengar buku “Belajar Selezat Coklat”nya uztadz Fatan. Nah, kali ini beda. Belajar selezat kopi.
Kenapa harus kopi. Kenapa tidak es krim atau bakso sekalian. Jawabannya, karena penulisnya suka kopi, hehe. Pada intinya belajar itu lezat.
Jika anda sering merasa jenuh dengan buku-buku pelajaran, tugas-tugas, UTS/UAS yang memusingkan, meerasa belajar itu membosankan, meraih prestasi itu sulit, maka baca artikel ini sampai rampung.
::::
Tentu anda sudah tahu generasi Rasulullah dahulu adalah generasi pembelajar yang tangguh. Tak terhitung banyaknya penghafal quran, hadist. Saat disampaikan ayat mereka langsung merekam dengan gesit. Betapa dalam masa itu ílmu merupakan hal utama dalam hidupnya. Kontras dengan para pemuda-pemudi islam jaman sekarang.
Sesungguhny jiwa saya merasa senang dengan ilmu;
Dengannya jiwa saya semakin kuat
Ibnu Taimiyyah
Tahu nggak kenapa jaman nabi banyak penghafal quran, hadist?
Betul, karena mereka pinter.
Terus bagaimana mereke bisa pinter?
Betul, karena mereka belajar.
Bagaimana cara mereka belajar?
Mari kita simak bersama-sama.
“Ilmu harus didatangi, bukan mendatangi.”demikian kata Imam Malik. Kalimat tersebut menegaskan setiap pembelajar harus memiliki tingkat motivasi tinggi dan goal yang jelas. Jadi pertama, mereka mempunyai motivasi dan keyakinan yang tinggi.
Kemauan (al iradah) merupakan sumber energi untuk orang melakukan amal, termasuk menuntut ilmu. Ia merupakan dorongan dalam diri untuk melakukan sesuatu yang lebih prestatif dan lebih tinggi. Tidak ada satu potong waktu yang dibiarkan lunglai terhempas kesia-siaan. Inilah tradisi yang dapat kita temukan dalam diri ulama-ulama sejak masa kenabian, tabiít-tabiín, hingga masa para cendekiawan muslimk saai ini. Mereka terlezatkan cahaya ‘ílmu yang tetap tangguh memotifasi mereka. Tradisi kenabianlah yang menggerakkan mereka.
Betapa keutamaan ‘ílmu sangat memacu mereka. Ilmu yang menolong mereka membuka cahaya keislaman yang haq, membawa derajat ke lebih tinggi di mata Allah, menolong mereka dalam dunia dan ahirat, memacu mereka untuk terus dzikir kepada Allah. Mereka merasakan kelezatan ‘ilmu karena tujuan yang benar. Bukan sekedar mencari dunia. Goal mereka jelas, menuntut ‘ilmu untuk mengharap ridho Allah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahuánhu, beliau Rasulullah Shalallahuálaihi wa Sallam bersabda,”Barangsiapa yang belajar untuk membanggakan diri dengan ulama, atau untuk menentang orang-orang jahil, atau untuk menarik perhatian manusia agar tertuju kepadanya, Allah akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam”(HR. Ibnu Majah)
Ingin seperti mereka, mari perbaiki motifasi kita.
Yang Kedua, mereka take action. Jelas mereka beraksi. Setelah tumbuh dalam jiwanya, menghujam iradah besar untuk menyantap ‘ilmu, mereka beraksi. Mereka fokus dan sungguh-sungguh dalam mencari ‘ilmui.
Sahabat nabi fokus dengan perkataan, tindakan, dan tingkah laku nabi. Maka, wajar mereka hafal kata-kata nabi, walau hanya diulang beberapa kali bahkan satu kali oleh Nabi. Masalahnya tidak hanya satu dua patah kata saja. Namun mereka hafal ribuan hadist.
Ulama-ulama yang rela menahan lapar, menghabiskan hartanya, menahan dunia, berpergian kemana-mana untuk mendapatkan ‘ilmu. Setelah ilmu disambut oleh mereka, mereka segera berupaya mengamalkannya. Itulah take action mereka. Berbeda dengan take action kita kebanyakan, yang belajar jika mepet ujian.
Sayyid Quthb menjelaskan,” Kehebatan generasi shahabatbukan semata-mata karena di sana ada Rasulullah, sebab jika ini jawabannya berarti islam tidak rahmatan lil álamien. Kehebatan mereka terletak pada semangat mereka untuk belajar lalu secara maksimal berupaya mengamalkannya.”
Ingin seperti mereka, segera take action.
Yang Ketiga, mereka istiqomah, tegar, dan sabar. Sikap ini menyertai pembelajar untuk berkomitmen dalam mencari ilmu.
Suatu saat seseorang bertanya kepada asy-Sya’bi,”Dari mana Anda mendapatkan semua ilmu ini?” Sesaat asy-Sya’bi terdiam. Senyumnya merekah seiring dengan pandangan matanya yang tertuju pada lelaki itu.
“Sahabatku, aku mendapatkannya dengan cara membuang sikap malas, dengan rajin mencari ke mana-mana, dengan bersabar seperti sabarnya seekor keledai, dan dengan sangat cekatannya seekor burung gagak,” jawab asy-Sya’bi.(M. Ahmad Ismail Al Muqaddam. Uluwwul Himmah)
Para ulama terhadulu menggunakan ketegarannya, keistiqomahannya dalam menuntut al ílmu. Mereka tahan banting, tahan godaan selama menuntut ilmu. Maka tidak ada tempat utnuk ilmu kepada para pembosan.
Imam Syafií pernah mengungkapkan,Tidak mungkin menuntut ilmu bagi orang yang pembosan dan sering berubah pikiran, serta merasa puas dengan apa yang ada pada dirinya. Akan tetapi, menuntut ilmu itu harus dengan menahan diri, kesempitan hidup, dan berkhidmat untuk ilmu tersebut. Pasti ia akan beruntung.”
Tentu saja kesabaran dalam menuntut ilmu itu dapat diperoleh dengan selalu syukur ni’mat. Mensyukuri kondisi, situasi. Bertolak belakang dengan kebanyakan pemuda muslim jaman sekarang. Masih ada yang tidak mau belajar dengan alasan tidak ada notebook, komputer, dsb. Padahal kondisi tersebut bisa diatasi dengan memakai komputer perpustakaan, pinjam teman, ataupun rental. Maka dari itu ketegaran dan kesabaran itu dapat diperoleh dengan ikhlas dan syukur. Barangsiapa yang bersyukur maka akan ditambahkan ni’mat kepadanya.
Sungguh merupakan jalan kelezatan pagi yang ingin menikmati kelezatan dengan jalan bersyukur. Apapun kondisi kita. Wajib kita bersyukur. Dengan syukur daun brotowali yang sangat pahit dapat terasa manis. Dengan syukur tidak akan timbul rasa putus asa dan gagal azzam. Syukur adalah salah satu jalan menuju keberhasilan.
“Kalau anda ingin berhasil maka jalanilah jalan untuk menuju keberhasilan.” (Uztadz Guru Besar Prof. Zaini Dahlan, beliau merupakan mantan Rektor UII)
Wallahu Taála A’lamu bisshowab.

Al Muqaddam, Muhamad Ahmad Ismail. 2001. Meraih Cita-cita dengan Semangat Membara. Jakarta: Rabbani Press.
Budiyanto, Dwi. 2009. Prophetic Learning. Yogyakarta: Pro-U Media.

Categories:

Leave a Reply

    Blogroll